Dalih “Droping Provinsi”, Komite Mengaku Tak Berdaya Soal Seragam Mahal di SMAN 1 Lumajang

  • Bagikan

Lumajang | MMC.co.id

Upaya awak media melakukan konfirmasi terkait dugaan pungutan pengadaan seragam di SMAN 1 Lumajang justru berujung pada sikap tidak kooperatif dan bernada pengusiran. Sejumlah jurnalis yang datang secara resmi ke sekolah tersebut mendapat ucapan, “Silakan segera pamit,” dari seorang guru biologi berinisial D, yang belakangan diketahui menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 1 Lumajang.

Kehadiran media bertujuan mengonfirmasi keluhan wali murid terkait pengadaan seragam sekolah yang dinilai mahal dan memberatkan. Berdasarkan pengakuan Waka Humas, pengadaan seragam dilakukan melalui koperasi sekolah dengan harga mencapai Rp1.950.000 untuk siswi dan Rp1.700.000 untuk siswa. Harga tersebut menuai protes dari sejumlah orang tua murid, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

Namun dalam proses konfirmasi, sikap Waka Humas dinilai berbelit-belit. Ia kerap menyatakan “tidak tahu” dan melemparkan tanggung jawab kepada pihak komite sekolah. Sikap tersebut memunculkan dugaan kuat adanya upaya menghindari keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban publik, khususnya terkait mekanisme penetapan harga dan dasar kebijakan pengadaan seragam.

Untuk melengkapi informasi dan menjaga asas keberimbangan, awak media kemudian menemui pihak komite sekolah. Dalam pertemuan tersebut, Komite Sekolah SMAN 1 Lumajang, Eko, menyampaikan bahwa pengadaan seragam disebut-sebut sebagai “droping dari provinsi”.

“Kalau saya juga nggak bisa berkutik ketika ada kata-kata sudah di-drop. Berarti itu kebijakan dari provinsi,” ujar Eko.

Eko bahkan berulang kali menegaskan istilah “droping dari provinsi” dan menyatakan bahwa dirinya hanya mengikuti aturan main, tanpa memiliki ruang untuk menolak. Ironisnya, ia juga mengakui bahwa informasi tersebut baru diketahuinya setelah proses pengadaan berlangsung, sehingga peran komite sebagai representasi orang tua murid patut dipertanyakan.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Forum Jurnalis Independen (FORJI) Lumajang, Alatas, melontarkan kritik keras. Ia menilai sikap pengusiran terhadap media dan tidak terbukanya informasi publik sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan aturan hukum.

“Tindakan menghalangi kerja jurnalistik dan bersikap tidak kooperatif saat dikonfirmasi adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang mengancam pidana bagi pihak yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja pers,” tegas Alatas.

Selain itu, Alatas juga menyinggung Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mewajibkan badan publik, termasuk sekolah negeri, untuk membuka informasi yang berkaitan dengan kebijakan dan penggunaan dana yang berdampak langsung kepada masyarakat.

“Sekolah negeri bukan institusi tertutup. Ketika ada dugaan pungutan yang memberatkan orang tua murid, maka wajib hukumnya dijelaskan secara transparan, mulai dari dasar kebijakan, mekanisme pengadaan, hingga rincian harga. Jika ada unsur pemaksaan atau pungutan yang tidak sesuai aturan, itu berpotensi melanggar ketentuan Permendikbud terkait larangan pungutan di satuan pendidikan negeri,” tambahnya.

FORJI Lumajang mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk turun tangan melakukan audit dan klarifikasi menyeluruh atas pengadaan seragam di SMAN 1 Lumajang, sekaligus mengevaluasi sikap pihak sekolah yang dinilai anti-kritik dan tidak ramah terhadap kontrol publik.

Hingga berita ini diturunkan, pihak SMAN 1 Lumajang belum memberikan klarifikasi resmi secara tertulis terkait dasar hukum penetapan harga seragam maupun alasan sikap pengusiran terhadap awak media. (bersambung…..)

(tim)

Penulis: sinEditor: Biro
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *