Fenomena Influencer Duduki Jabatan Publik, Efektif atau Sekadar Panggung Popularitas?

  • Bagikan

MMC.co.id

Fenomena influencer digital menempati posisi strategis di pemerintahan menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas figur digital yang memiliki jutaan pengikut di media sosial kini tidak hanya digunakan untuk promosi produk atau konten hiburan, tetapi juga mulai masuk ke ranah pengambilan kebijakan negara.

 

Keputusan pemerintah menunjuk beberapa konten kreator sebagai staf khusus, penasihat, hingga bagian dari tim komunikasi publik memunculkan pro dan kontra.

 

Di satu sisi, influencer dianggap mampu menjembatani komunikasi pemerintah dengan generasi muda. Namun di sisi lain, kritik muncul terkait kompetensi, etika jabatan, dan risiko politisasi ruang digital.

 

Influencer didefinisikan sebagai individu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap opini publik melalui konten digital (Freberg et al., 2011). Dalam politik modern, mereka berperan sebagai opinion leader yang mampu mempengaruhi persepsi masyarakat sebagaimana teori two step flow of communication Katz dan Lazarsfeld (1955).

 

Fenomena ini sejalan dengan gagasan Manuel Castells (1996) tentang network society, di mana kekuasaan tak lagi bertumpu pada institusi formal semata, namun juga pada kemampuan mengendalikan arus informasi. Semakin besar jumlah pengikut, semakin kuat pula legitimasi sosial yang terbentuk.

 

Di Indonesia, penunjukan figur publik seperti YouTuber dan selebritas digital ke pos-pos pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa popularitas kini menjadi salah satu sumber daya politik yang diperhitungkan.

 

Memang kehadiran influencer di pemerintahan dapat memberikan beberapa manfaat. Mereka dinilai mampu menyederhanakan bahasa kebijakan, mempercepat penyebaran informasi, serta meningkatkan kedekatan pemerintah dengan publik.

 

Namun efektivitasnya tetap bergantung pada kapasitas profesional. Dalam teori merit system (Wilson, 1887; Denhardt, 2003), jabatan publik idealnya diberikan kepada individu berdasarkan kompetensi, bukan ketenaran semata.

 

Sejumlah kritik mengemuka, mulai dari risiko penurunan standar profesional birokrasi, potensi konflik kepentingan, hingga kemungkinan jabatan publik berubah menjadi panggung konten.

 

Guy Debord (1967) pernah menyebut masyarakat modern rentan terjebak dalam “society of spectacle”, dimana pencitraan bisa mengalahkan substansi, dan sebagai negara demokrasi ini sebagai tanda alarm bahaya.

 

Fenomena influencer masuk pemerintahan tidak dapat serta-merta disalahkan. Yang diperlukan adalah aturan main yang jelas. Standar kompetensi, kode etik, hingga mekanisme pengawasan konflik kepentingan harus dirumuskan.

 

Selain itu, literasi publik perlu diperkuat agar masyarakat tidak mudah terjebak pada politik visual semata. Pemerintahan juga dituntut menjaga keseimbangan antara strategi komunikasi digital dan substansi kebijakan.

 

Fenomena ini bisa menjadi peluang sekaligus alarm demokrasi. Pemerintah berpotensi menjangkau publik lebih luas lewat figur kreator digital. Namun jika penunjukan lebih didorong popularitas ketimbang kapabilitas, meritokrasi dan tata kelola negara dapat tergerus.

 

Publik berharap jabatan negara tetap menjadi ruang profesional yang menjunjung integritas dan kepentingan masyarakat. Popularitas adalah bonus, namun kompetensi dan etika tetap harus menjadi syarat utama.

Oleh: Noor Azhari (Direktur Eksekutif MPSI)

(roni)

Editor: Biro
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *