Pasal 6 huruf a dan b, menekankan asas transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan pelaksanaan pekerjaan yang menggunakan dana pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Fauzi, Sekretaris Jenderal Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK) Komisi Cabang Lumajang, mengecam keras tindakan tidak transparan dalam pelaksanaan proyek yang menggunakan uang negara tersebut.
“Ini bentuk pelanggaran nyata terhadap prinsip keterbukaan publik dan akuntabilitas keuangan negara. Papan proyek itu bukan formalitas, tapi kewajiban hukum! Kalau anggaran disembunyikan, publik bisa menduga ada sesuatu yang tidak beres,” tegas Fauzi.
Fauzi juga menilai bahwa praktik semacam ini bisa menjadi indikasi lemahnya pengawasan internal di lingkup Balai Besar Wilayah Sungai Brantas.
“Kami mendesak pihak Balai Besar Sungai Brantas untuk menjelaskan secara terbuka berapa nilai kontrak proyek Bendung Bondoyudo ini, siapa pelaksananya, dan mengapa papan proyek tidak mencantumkan informasi lengkap. Ini uang rakyat, bukan uang pribadi,” tambahnya.
Sebagai lembaga kontrol sosial, LP-KPK berencana melayangkan surat resmi permintaan klarifikasi kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Inspektorat Jenderal PUPR dan BPK RI.
Kasus Bendung Bondoyudo ini menjadi pengingat penting bahwa transparansi bukan sekadar slogan, melainkan kewajiban moral dan hukum bagi setiap penyelenggara negara. Tanpa keterbukaan, akuntabilitas proyek publik bisa mudah tergelincir menjadi ruang gelap penyalahgunaan anggaran. (bersambung)
(tim)













