Probolinggo | mmc.co.id
Sengketa klaim hak milik tanah di Desa Karanggeger, Kabupaten Probolinggo, terus bergulir dan menjadi perhatian serius pihak berwajib. Perselisihan kali ini berfokus pada keberadaan dan isi perjanjian “Dading” (penyelesaian di luar pengadilan) yang ditandatangani pada 31 Juli 2024 antara Buati Suharyono dan pihak Kholifah Cs, yang disaksikan oleh Kepala Desa dan Sekretaris Desa Karanggeger.
Persoalan muncul dari perbedaan tafsir terhadap Pasal 02 dalam perjanjian tersebut, yang menurut pihak Buati dan Kholifah Cs memiliki narasi berbeda.
Versi pihak pertama (Buati) menyatakan bahwa pada tanggal 31 Juli 2024, pihak kedua (Kholifah Cs) dengan itikad baik bersedia mengembalikan bagian tanah warisan Buati yang tercatat atas nama almarhum Djastro Djuma’i dalam buku leter C Desa Karanggeger, yang sebelumnya dikuasai oleh Kholifah Cs.
Namun, menurut versi pihak kedua (Kholifah Cs), mereka baru akan mengembalikan bagian tanah tersebut setelah adanya putusan hukum tetap dari pengadilan.
Kuasa hukum Buati, Nanang Hariyadi, SH, menegaskan bahwa seharusnya tanah warisan tersebut sudah diserahkan.
“Berdasarkan Dading tanggal 31 Juli 2024, pihak kedua telah menyetujui dan menandatangani perjanjian. Maka, mereka seharusnya sudah mengembalikan hak tersebut kepada klien kami sebagai ahli waris sah,” ujarnya.
Nanang menambahkan bahwa laporan ke Mapolres Probolinggo dilakukan karena pihak kedua mengklaim adanya perbedaan narasi dalam Dading, padahal menurutnya isi perjanjian tersebut telah dibacakan secara terbuka sebelum ditandatangani, termasuk oleh Kepala Desa dan Sekretaris Desa Karanggeger.
Lebih lanjut, Nanang menekankan bahwa terlepas dari dugaan perbedaan redaksional dalam Pasal 02, objek tanah tersebut seharusnya sudah diserahkan karena sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan Buati sebagai pewaris tunggal.
“Pihak Kholifah Cs bukan ahli waris dari almarhum Djastro Djuma’i dan tidak memiliki hubungan darah dengan Buati Suharyono,” tambahnya.
Ia juga mempertanyakan keabsahan sertifikat tanah yang diklaim Kholifah Cs berdasarkan hibah, menanyakan apakah akta hibah itu benar-benar ada dan sah menurut ketentuan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
Sementara itu, tim media juga mengonfirmasi pihak Kholifah Cs melalui kuasa hukumnya, Syaifuddin. Ia memaparkan bahwa ada lima perbedaan mendasar antara isi Dading versi Buati dan ketentuan hukum yang berlaku.
“Pertama, mereka menyebut itu Dading, padahal menurut Pasal 130 HIR, itu hanya surat di bawah tangan,” jelasnya.
Poin kedua menurut Syaifuddin, surat tersebut dianggap sah dan final secara perdata oleh pihak Buati, padahal menurut Pasal 1320 KUHPer, surat tersebut tidak sah karena tidak melibatkan semua pihak berkepentingan, termasuk Achmad Rifa’i sebagai pemilik tiga sertifikat hak milik (SHM) yang tidak hadir atau menandatangani surat tersebut.
Poin ketiga, Syaifuddin menyatakan bahwa surat tersebut tidak bisa dijadikan dasar peralihan hak atas tanah karena bertentangan dengan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
“Tanah itu tetap sah milik pemegang sertifikat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo 33 PP 24 Tahun 1997,” jelasnya.
Ia juga menambahkan dua poin terakhir:
Keempat, surat tersebut diklaim sebagai surat berharga, padahal menurutnya tidak memiliki nilai hukum.
Kelima, masih ada beberapa keberatan lainnya yang belum dirincikan.
(roni)













