Kejanggalan Kasus ‘Illegal Access’: Pihak BPKAD Dijadikan Tersangka, Namun yang Membuat Proyek Siluman Tak Diperiksa

Boven Digoel, Mmcnews – Anggota DPRK Boven Digoel, Solikhin, SE, mengungkap adanya dugaan kejanggalan dalam kasus “Illegal Access” yang menimpa seorang pegawai BPKAD berinisial C. Ia merasa tuduhan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena perubahan anggaran yang dilakukan sudah dibahas secara resmi oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan DPRK dalam rapat pada 15 Januari 2025.

Menurut Solikhin, perubahan anggaran ini bukanlah tindakan individu, tetapi bagian dari upaya pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai dengan aturan Provinsi Papua Selatan. Sebelumnya, anggaran untuk sektor pendidikan di Boven Digoel hanya 16%, sehingga perlu ada penyesuaian agar sesuai dengan peraturan yang ada.

Masalah justru muncul dari alokasi anggaran Rp 20 miliar untuk tujuh proyek pembangunan di Polres Boven Digoel, yang tiba-tiba muncul dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) Dinas PUPR. Solikhin menegaskan bahwa proyek-proyek tersebut tidak pernah dibahas dalam Musrenbang atau dalam pembahasan anggaran di DPRK. Selain itu, anggaran tersebut berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) Specific Grant, yang seharusnya tidak bisa digunakan untuk hibah tanpa persetujuan DPRK melalui MoU.

Setelah evaluasi, hanya dua proyek yang disetujui karena berkaitan dengan pendidikan dan pelayanan publik, sementara lima proyek lainnya dibatalkan dan anggarannya dialihkan untuk sektor yang lebih prioritas. Keputusan ini diambil dalam rapat resmi antara TAPD dan Pansus DPRK, dengan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran.

Solikhin mempertanyakan mengapa pegawai BPKAD yang hanya menjalankan keputusan rapat justru dijadikan tersangka, sementara pihak yang memasukkan proyek-proyek tersebut ke dalam anggaran tidak diperiksa. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada kerugian negara dalam perubahan anggaran ini, karena semua sudah dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Kasus ini terkesan dipaksakan. Semua keputusan sudah dibahas dan disetujui dalam rapat resmi. Pertanyaannya, mengapa yang diperiksa adalah pegawai yang hanya menjalankan keputusan, bukan pihak yang pertama kali memasukkan proyek-proyek ini ke dalam anggaran?” ujar Solikhin.

Saat ini, kasus “Illegal Access” yang menimpa C sudah memasuki tahap praperadilan, di mana kuasa hukumnya meminta agar penahanannya dibatalkan. Publik kini menunggu apakah proses hukum ini akan mengungkap siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas proyek-proyek yang tidak sah ini, atau apakah ini hanya akan menjadi contoh kriminalisasi terhadap aparatur sipil yang bekerja sesuai aturan. ***

Tinggalkan Balasan