Lumajang | mmc.co.id
Kondisi sambungan guardrail atau pelindung sisi jalan di Jembatan Dukuh, wilayah Wonorejo–Lumajang, menjadi sorotan tajam. Pasalnya, sambungan pelat baja (beam) di lokasi tersebut dipasang melawan arah lalu lintas, sehingga justru berpotensi menjadi sumber bahaya bagi pengendara.
Dari dokumentasi lapangan yang diperoleh tim media, terlihat jelas bahwa sambungan antar pelat guardrail menghadap ke arah kendaraan yang melintas. Posisi tumpukan pelat besi yang menonjol keluar ini seharusnya tidak terjadi dalam pemasangan standar.
Secara teknis, kondisi tersebut melanggar Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Revisi 2 serta pedoman AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials).
Dalam aturan tersebut ditegaskan, sambungan pelat baja guardrail harus menghadap menjauhi arah datang kendaraan, untuk mencegah tonjolan tajam yang dapat melukai pengendara atau menjadi titik tersangkut saat terjadi gesekan.
Ahli konstruksi jalan menyebut pemasangan seperti ini sangat berisiko bagi pengendara sepeda motor, karena dalam kecepatan tinggi, tonjolan sambungan dapat berfungsi layaknya “pisau besi pasif” yang dapat menyebabkan luka serius atau fatal.
“Guardrail itu dibuat untuk menyelamatkan, bukan mencelakakan. Kalau sambungannya salah arah seperti ini, fungsinya bisa berubah jadi bahaya tersembunyi,” ujar salah satu pengawas jalan nasional yang enggan disebutkan namanya.
Ironisnya, setelah enam bulan berlalu sejak temuan pertama kali dipublikasikan, kondisi guardrail di Jembatan Dukuh masih tetap sama.
Tidak ada tanda-tanda perbaikan maupun tindakan dari pihak terkait, khususnya Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) 1.4 Jawa Timur, yang seharusnya bertanggung jawab atas ruas tersebut.
Sekretaris Jenderal Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK), Fauzi, mengecam keras pembiaran itu.
Menurutnya, pemasangan guardrail yang tidak sesuai standar bukan hanya kesalahan administratif, tetapi pelanggaran hukum yang berpotensi pidana.
“Pembiaran terhadap kesalahan teknis seperti ini adalah bentuk pengabaian keselamatan publik. Ini bukan lagi lalai, tapi kejahatan teknis yang nyata-nyata bisa membunuh,” tegas Fauzi kepada media ini.
Fauzi menjelaskan, kesalahan tersebut melanggar UU No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya:
- Pasal 24: Pemerintah wajib menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan.
- Pasal 63–64: Konstruksi jalan harus mengacu pada standar teknis yang ditetapkan oleh Menteri PUPR.
Selain itu, jika kelalaian tersebut menyebabkan kecelakaan, dapat dijerat Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian, serta Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan — dengan ancaman pidana hingga 6 tahun penjara atau denda Rp12 juta.
“Yang lebih parah, di mana para pejabat pengawas proyek ketika pemasangan dilakukan? Apakah mereka buta, atau pura-pura tidak tahu? Kalau pekerjaan seperti ini bisa lolos tanpa koreksi, berarti fungsi pengawasan jalan nasional sudah mandul!” tegas Fauzi dengan nada geram.
LP-KPK mendesak agar BBPJN 1.4 Jawa Timur segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh titik pemasangan guardrail di wilayah kerjanya.
Selain itu, Fauzi menilai perlu adanya penegakan hukum terhadap pihak yang lalai atau sengaja membiarkan kesalahan fatal ini.
“Kalau dibiarkan, jangan tunggu ada korban dulu baru bergerak. Keselamatan rakyat jangan dijadikan eksperimen di lapangan!” pungkasnya.
Guardrail seharusnya menjadi tameng terakhir bagi pengendara saat kecelakaan terjadi. Namun jika pemasangannya salah arah dan dibiarkan begitu saja, maka alat pelindung itu justru bisa berubah menjadi “jebakan maut” di jalan raya. (bersambung)
(tim)















