Putusan Hakim Bersifat Ultra Petita Adalah Sesuatu Yang Wajar

Img 20211221 Wa0377

Jakarta, | jabar.mmcnews.id, – Berkaitan dengan duplik Penasehat Hukum atas nama Terdakwa HERU HIDAYAT yang dibacakan dalam persidangan Senin, 20 Desember 2021 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

Perlu dipahami bahwa putusan Hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP, yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Berdasarkan ketentuan tersebut Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada Surat Dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Ratio logis yang dianut KUHAP adalah Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas, mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.

Oleh karena itu, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk didalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara.

Di dalam perkara aquo Terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yaitu di dalam perkara PT. ASABRI (Persero), Terdakwa HERU HIDAYAT telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp22.788.566.482.083,00 (dua puluh dua triliun tujuh ratus delapan puluh delapan milyar lima ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan puluh dua ribu delapan puluh tiga rupiah), dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa HERU HIDAYAT sebesar Rp12.643.400.946.226 (dua belas triliun enam ratus empat puluh tiga miliar empat ratus juta sembilan ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah).

Dalam praktik peradilan, Hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru.

Terkait putusan perkara atas nama SUSI TUR ANDAYANI hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa Putusan Hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa. Putusan-putusan Hakim lain yang menggambarkan kebebasan memutus dapat dilihat, antara lain dalam putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dengan Terdakwa I AGUS SANTOSO dan Terdakwa II YUSRONI (Pengeroyokan Psl 170 KUHP), dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor: 810 /K.Pid.sus/2012 (Narkotika) dengan Terdakwa IDRIS LUKMAN BIN LOKMAN HENDRIK.

Selain itu, di dalam Persidangan terungkap fakta bahwa Terdakwa tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa HERU HIDAYAT dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp 23.372.184.321.226,00 (dua puluh tiga triliun tiga ratus tujuh puluh dua milyar seratus delapan puluh empat juta tiga ratus dua puluh satu ribu dua ratus dua puluh enam rupiah) (Hendra/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *