Oleh : Lamhot JF Naibaho.SPd
Dalam pelaksanaan adat batak dalam kategori ulaon unjuk sudah menjadi hal yang biasa melakukan ‘manghepengi’ terhadap pelaksanaan ritual adat Batak. Terutama di kalangan masyarakat batak yang tinggal diperkotaan, dimana pihak bere, kalau mereka akan mendatangi tulangnya untuk menyerahkan sejumlah uang ketika akan melangsungkan adat pernikahan yang digunakan untuk pengadaan ikan mas yang akan dibawa ke pesta adat pernikahan tersebut. Karenanya, uang yang diberikan itu disebut Pasidengke Ni Tulang.
Barangkali, hal ini berawal dari adanya seseorang yang bermaksud untuk membantu tulangnya untuk pengadaan dengke (ikan mas) itu. Atau, itu bisa terjadi ketika seseorang yang akan menikahkan anaknya (biasanya yang tinggal di perantauan) mencari tulang pengganti (yang semarga dengan tulang kandungnya) karena tidak ada tulang kandungnya/dekatnya di perantauannya itu. Untuk kasus ini, wajarlah dia memberikan uang pasidengke ni tulang.
Akan tetapi, lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan pada akhirnya dianggap keharusan. Saat ini, tak sedikit tulang menunggu berenya memberikan pasidengke ni tulang ketika berenya itu hendak menikahkan anak. Kalau tidak datang, berenya itu bisa dicap tak beradat. Yang lucunya, pasidengke ni tulang itu tetap berlaku walaupun yang memesan dan membayar dengke itu adalah berenya (biasanya telah disediakan oleh catering). Hal yang sama juga berlaku untuk pasiulos ni tulang. Artinya, tulang harus diuangi untuk melakukan tanggungjawab adatnya sebagai tulang. Ini keliru dan menyimpang.
Perumpamaan leluhur orang Batak, berkata: “Sisolisoli do uhum, siadapari do gogo.” Uhum itu bisa berbentuk adat yang berlaku. Umumnya, perumpamaan ini dimaknai secara salah oleh generasi Batak masa kini. Karenanya, kita sering mendengar pernyataan “Kalau kau datang ke pestaku, aku datang ke pestamu. Ai sisolisoli do na mangolu on.” Pelaksanaan adat dimaknai transaksional dan untung-rugi. Padahal, bukan begitu makna sisolisoli do uhum/adat.
Sisolisoli do uhum/adat bermakna bahwa adat harus dilaksanakan sesuai dengan posisi dan tanggungjawab kekerabatannya (partuturonna). Kalau posisinya tulang, mereka akan membawa boras sipir ni tondi, ikan mas, dan mangulosi pada pesta adat pernikahan berenya. Itu kewajiban dan tanggung jawab adatnya. Kalau secara ekonomi, tulangnya kaya, bolehlah dia mangulosi berenya dengan ulos yang mahal. Bahkan, dia bisa membantu berenya untuk menyelenggarakan pesta adat itu, walaupun pemberian itu tidak termasuk dalam ritual adat. Lalu, pihak bere akan melaksanakan adat sebagai bere kepada tulang. Memberikan jambar tulang, pisopiso, atau pasituak na tonggi, misalnya. Itu dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Itu tidak harus sebanding dengan yang diberikan tulangnya itu. Itulah makna dan hakikat sisolisoli do uhum/adat.
Sebenarnya, dahulu, pelaksanaan adat Batak sangat akomodatif terhadap status sosial-ekonomi yang melakukan adat pernikahan, misalnya. Kalau tak sanggup marpesta unjuk (di halaman) ada manurun (pesta di rumah). Kalau manurun pun tak sanggup, masih ada mengembalhon gajut. Tak ada acara makan-makan. Yang menerima ulos hanya pengantin. Semuanya itu diakui sah secara adat.
Akhir-akhir ini, hal itu tak berlaku lagi. Atas nama harga diri, orang Batak masa kini berupaya untuk melaksanakan pesta unjuk walaupun untuk hal itu harus berhutang. Padahal, leluhur orang Batak secara bijaksana telah berkata: “Na jempek do suhat-suhat ni na ganjang.”
Saya tidak bermaksud mengarahkan kita untuk melakukan adat manurun atau mangembalhon gajut saat ini. Saya hanya mengatakan bahwa leluhur orang Batak tidak merancang ritual adatnya mahal dan bertele-tele. Yang membuat mahal dan bertele-tele adalah orang Batak masa kini. Memang, ada ucapan ‘mangalindakhon na gok’. Ya, itu berlaku untuk mereka yang memang hartanya sudah hampir meluber saking penuhnya. Penulis Adalah Pemerhati Politik dan Budaya Batak di Tanjung Balai Karimun