Boven Digoel, sebuah kabupaten yang terletak di Papua Selatan, dikenal sebagai wilayah yang tergolong 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), sebuah label yang menunjukkan bahwa wilayah ini menghadapi berbagai tantangan besar dalam pembangunan, infrastruktur, dan akses terhadap layanan dasar. Namun, Boven Digoel tidak hanya menghadapi keterbatasan tersebut, tetapi juga sedang terperosok dalam krisis penegakan hukum yang semakin memburuk. Penegakan hukum di daerah ini tidak hanya lemah, tetapi juga tampaknya sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis, yang semakin memperburuk situasi sosial dan ekonomi masyarakat.
Meskipun ada berbagai regulasi dan peraturan yang jelas, pelanggaran hukum terus berlangsung tanpa adanya tindakan tegas dari aparat yang berwenang. Korupsi dalam pengelolaan anggaran daerah menjadi salah satu masalah besar yang tak kunjung mendapatkan perhatian serius. Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat sering kali terbengkalai atau bahkan mangkrak, sementara anggaran yang disiapkan untuk tujuan tersebut diselewengkan tanpa ada upaya hukum yang berarti. Penanganan terhadap dugaan korupsi cenderung lambat dan tidak transparan, sehingga menambah rasa frustrasi di kalangan masyarakat yang semakin merasa tidak dilindungi oleh sistem hukum yang ada.
Tidak hanya korupsi, masalah lain yang semakin memperburuk kondisi hukum di Boven Digoel adalah peredaran minuman keras (miras). Meskipun ada peraturan yang melarang peredaran miras untuk menjaga ketertiban umum dan kesehatan masyarakat, kenyataannya miras tetap beredar bebas tanpa pengawasan yang memadai. Bahkan, praktik ilegal ini semakin marak di kalangan masyarakat tanpa adanya langkah konkret dari aparat untuk menghentikannya. Hukum yang seharusnya memberikan rasa aman dan tertib justru tampak tidak efektif, dan ini menunjukkan betapa lemahnya implementasi aturan di wilayah ini.
Penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi juga menjadi sorotan utama. BBM subsidi yang semestinya digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan, justru sering kali disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan pribadi. Penyalahgunaan ini merugikan banyak pihak, namun aparat hukum tampaknya tidak cukup memiliki kapasitas atau keberanian untuk mengambil tindakan tegas. Tanpa pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas, penyalahgunaan BBM subsidi terus berlangsung tanpa ada penyelesaian yang jelas.
Semua masalah ini menggambarkan krisis penegakan hukum yang telah lama melanda Boven Digoel. Hukum seolah hanya menjadi simbol belaka, tanpa kekuatan nyata untuk menegakkan keadilan. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari hukum justru merasa semakin terpinggirkan. Keadaan ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem hukum dan aparat yang berwenang.
Krisis penegakan hukum ini tidak hanya berimbas pada keadilan sosial, tetapi juga memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di wilayah tersebut. Tanpa penegakan hukum yang jelas dan konsisten, para pelaku pelanggaran terus bebas melakukan tindakan yang merugikan masyarakat, sementara warga yang tidak berdaya semakin terabaikan dalam ketidakpastian hukum. Boven Digoel membutuhkan perhatian serius untuk mereformasi sistem penegakan hukum yang ada, agar hukum dapat benar-benar berfungsi untuk melindungi dan memberi keadilan kepada semua lapisan masyarakat. Tanpa perubahan yang signifikan dalam hal penegakan hukum, Boven Digoel akan terus terperosok dalam krisis yang memperburuk keadaan yang ada. ***