Menjadi Negara Demokrasi, merupakan keinginan seluruh rakyat indonesia, namun sampai saat ini, demokrasi masih menjadi konsumsi publik bagi bangsa ini. Demokrasi ialah saat kedaulatan ada di tangan rakyat dan negara hukum dijunjung tinggi. Duitokrasi ialah antitesisnya, saat kedaulatan dibajak kekuatan duit, dan negara hukum direndahkan, hanya menjadi komoditas transaksi jual beli yang diperdagangkan.Dalam perspektif politik, kenyataan yang memprihatinkan itu menandakan bahwa sistem demokrasi yang dianut dan dipraktikkan Indonesia tidak diikuti dengan kehadiran kaum demokrat dalam proses penyelenggaraan negara.Kenyataan tersebut bukanlah khas Indonesia sesungguhnya, melainkan terjadi pula di banyak negara lainnya di dunia. Fenomena itulah yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut demokrasi tanpa demokrat (democracy without democrats).Kondisi demokrasi tanpa demokrat, yakni demokrasi yang muncul dan bersemi –sejak transisi dari otoritarianisme– tidak kunjung mencapai konsolidasi karena kaum demokrat absen untuk mengambil peran penting dalam dinamika politik yang sedang berlangsung.Itulah yang terjadi di Namibia, misalnya, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Keulder dan Wiese (2005). Hal serupa juga terlihat pasca-Arabic Spring seperti digambarkan studi George Awad (2021). Setelah musim semi Arab terjadi, demokrasi di sejumlah negara muslim (Arab) tersebut justru dijalankan orang-orang nondemokrat. Praktik kekuasaanFenomena politik yang kurang lebih serupa dengan itu tengah terjadi di Republik ini saat ini. Sejumlah kenyataan politik atau katakanlah praktik kekuasaan dapat disodorkan sebagai basis empiris untuk mengonstruksi argumen situasi demokrasi tanpa demokrat di negeri ini.Pertama, dan ini terbaru. Terbitnya perppu omnibus law yang sebelumnya berwujud UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) oleh Mahkamah Konstitusi. Selain menabrak prinsip-prinsip hukum tata negara yang dianut Indonesia, kehadiran perppu tersebut sekaligus wujud nyata pembegalan nilai-nilai demokrasi. Ibarat tiada mendung tiada angin, tiba-tiba hujan deras di tengah terik matahari.Kedua, upaya perpanjangan masa jabatan presiden. Satu paket dengan ini ialah isu tiga periode untuk Presiden Joko Widodo dan isu penundaan pemilihan umum. Beragam argumen diajukan, agar presiden yang menjabat saat ini tidak perlu berganti kendati setelah masa jabatannya yang kedua berakhir pada Oktober 2024. Berbagai upaya hendak dilakukan termasuk mengamendemen konstitusi. Sejumlah tokoh politik seperti pimpinan partai politik dan pejabat negara menjadi pelopor serta pendukung gagasan ini. Ada pula intelektual dan pemimpin lembaga survei di balik upaya ini.Ketiga, tidak tampilnya kekuatan oposisi yang memadai. Mayoritas partai politik yang memiliki wakil di parlemen, misalnya, berada dalam barisan pemerintah. Arus oposisi sangat kecil dan nyaris tidak memiliki pengaruh apa pun dalam proses pengambilan keputusan politik di parlemen. Tidak mengherankan jika rancangan undang-undang yang dibahas di parlemen sangat lancar dan lebih mengikuti apa yang diinginkan eksekutif.Oposisi di luar parlemen juga agak sulit berkembang dengan wajar karena otoritarianisme kekuasaan kembali bersemi. Orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dicurigai dan dimusuhi. Bahkan, beberapa di antaranya ditangkap lalu dijeblos ke penjara dengan berbagai alasan.Keempat, terbitnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni sejumlah pasal di dalamnya potensial menyumbat kebebasan warga negara, serta menghalangi laju perkembangan demokrasi. Ada juga pasal-pasal yang terlalu jauh memasuki wilayah privat warga. KUHP seolah menjadi monster yang menakutkan dan menghantui setiap ekspresi politik warga negara.Kelima, pengangkatan 272 penjabat kepala daerah untuk rentang waktu yang panjang. Kepala daerah itu jabatan politik yang diraih melalui pemilu. Legitimasi kekuasaannya diperoleh langsung dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Penjabat memungkinkan ditunjuk, tetapi untuk sementara waktu saja, misalnya dua atau tiga bulan. Yang terjadi saat ini, penjabat kepala daerah ada yang masa jabatan lebih dari dua tahun.Keenam, tidak sedikit partai politik berada dalam kendali seorang tokoh sentral nondemokrat yang harus ditunduki. Bahkan, ada partai politik yang ketua umumnya tidak pernah berganti sejak berdiri hingga saat ini. Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu faktor penghambat partai politik menjadi organisasi politik modern.Ketujuh, supremasi hukum (supremacy of law) tidak kunjung tegak atau ditegakkan. Dampak buruknya terlihat jelas. Misalnya korupsi semakin menggila, penyalahgunaan kekuasaan tak terkendali, juga perampokan kekayaan sumber daya alam terus berlangsung baik legal maupun ilegal.Tujuh fakta politik tersebut –untuk menyebut sebagian– cukup representatif untuk menggambarkan tubuh dan batin perpolitikan Indonesia saat ini. Suatu keadaan yang demokrasi kering-kerontang karena sedang dalam asuhan dan kekuasaan kelompok nondemokrat.Demokrasi, kata Keulder dan Wiese, membutuhkan barisan demokrat, jika demokrasi itu hendak dikonsolidasikan sebagai satu-satunya aturan permainan. Konsolidasi demokrasi, dalam konteks ini, berfungsi sebagai variabel pencipta kekuatan kolektif.Lalu, siapakah kaum demokrat itu? Mereka tak lain dari sosok-sosok warga negara yang menunjukkan dukungan dan preferensi yang tegas untuk demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan yang diyakini paling tepat. Kaum demokrat sejati –terutama yang mendapat kesempatan memegang kendali kekuasaan– selalu menunjukkan komitmen dan konsistensi ke arah terciptanya konsolidasi demokrasi. Mereka berupaya mengantar demokrasi menjadi budaya dalam kehidupan politik. Takut dengan kompetisi yang sehat dan fairIndonesia dalam status negara demokrasi tanpa demokrat saat ini, tidak saja mempertontonkan suatu kenyataan, yang demokrasi tidak mengalami konsolidasi dengan baik, juga menunjukkan indikasi terjadinya democracy-phobia. Ada ketakutan-ketakutan tertentu terhadap konsekuensi logis demokrasi. Misalnya, takut dengan kompetisi yang sehat dan fair dalam pemilihan. Takut dengan kandidat pemimpin yang memiliki popularitas tinggi, dan sebagainya.Tegasnya, Indonesia saat ini sedang dikendalikan kekuatan-kekuatan nondemokrat. Merekalah yang mendikte aturan-aturan permainan dalam bernegara. Dalam posisi sebagai penentu, membuat kekuatan nondemokrat tersebut memiliki daya rusak yang sangat besar terhadap segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.Absennya kaum demokrat sekaligus memberikan akses tercipta dan berlangsungnya berbagai kekacauan, kegaduhan, dan kesemrawutan dalam kehidupan politik. Ketiadaan kaum demokrat dalam demokrasi kita, selain merefleksikan kesemuan dalam berdemokrasi, juga mengindikasikan tingkat peradaban politik yang masih dibawah taraf peradaban. Sehingga demokrasi kita ini seakan berwajahkan duitokrasi. (Penulis : Pemerhati Sosial dan Politik)
Ketika Demokrasi Kita Berwajah Duitokrasi. (Oleh : Lamhot JF Naibaho)
Baca Juga
Rekomendasi untuk kamu
Lumajang | mmc.co.id Belakangan ini, informasi negatif beredar mengenai pembangunan saluran drainase di Dusun Klompangan,…
Lumajang| mmc.co.id Dalam rangka memperingati hari jadi Lumajang yang ke-769, Pj Bupati Lumajang, Indah Wahyuni,…
Lumajang | mmc.co.id Barisan Relawan Nusantara (BRNR) menggelar konsolidasi untuk merapatkan barisan dalam mendukung program…
Lumajang|mmc.co.id Polres Lumajang Polda Jatim menunjukkan kepeduliannya terhadap generasi muda dengan membagikan 100 kotak makan…
Lumajang | mmc.co.id Ivana, seorang perempuan hebat, kini mengalami masa-masa sulit akibat tekanan yang dialaminya…