Menteri Desa Soroti Pemerasan Oknum Wartawan dan LSM, Publik Desak Transparansi Dana Desa

Lumajang | mmc.co.id

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dugaan praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap aparat desa. Dalam acara sosialisasi yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube resmi Kementerian Desa pada 1 Februari 2025, Yandri menegaskan bahwa praktik ini menghambat pembangunan desa.

Menurut Yandri, sejumlah oknum meminta uang kepada aparat desa dengan berbagai dalih, yang jika diakumulasi bisa mencapai ratusan juta rupiah. “Bayangkan kalau ada desa yang dimintai Rp3 juta, satu oknum bisa mengantongi ratusan juta. Ini sudah kelewatan,” ujarnya.

Untuk memberantas praktik ini, Yandri meminta aparat kepolisian dan kejaksaan bertindak tegas. “Kalau perlu, tangkap saja oknum-oknum seperti ini,” tegasnya. Sebagai langkah pencegahan, Kementerian Desa juga meluncurkan aplikasi “Jaga Desa”, yang memungkinkan masyarakat dan aparat desa melaporkan dugaan pemerasan atau penyimpangan anggaran secara langsung.

Publik Kritisi Fokus Menteri: Korupsi Dana Desa Juga Harus Dibongkar!

Pernyataan Yandri menuai respons kritis dari berbagai pihak. Publik menilai pemerintah tidak boleh hanya fokus pada pemerasan, tetapi juga harus lebih serius dalam memberantas korupsi dalam pengelolaan dana desa.

Beberapa langkah yang diusulkan untuk meningkatkan transparansi anggaran desa meliputi:

  1. Audit terbuka yang bisa disaksikan masyarakat dan dipublikasikan secara luas.
  2. Laporan pertanggungjawaban keuangan desa harus mudah diakses warga dan dipajang di papan informasi desa.
  3. PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) wajib transparan dalam menyediakan data penggunaan anggaran.
  4. APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) harus bertindak independen tanpa intervensi pihak tertentu.

Selain itu, kritik juga muncul terkait akar masalah pemerasan yang disoroti Yandri. Banyak pihak menilai bahwa praktik ini tidak berdiri sendiri, melainkan seringkali dipicu oleh kurangnya transparansi dan dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana desa.

“Jangan hanya menyalahkan wartawan dan LSM. Kalau pengelolaan dana desa benar-benar transparan, tidak ada celah untuk praktik seperti ini,” ujar seorang aktivis.

Faktanya, berbagai laporan media telah mengungkap kasus penyalahgunaan dana desa, bahkan dengan pelanggaran aturan yang terang-terangan. Hal ini menjadi bukti bahwa keterbukaan informasi publik harus ditegakkan sebagai benteng utama dalam melawan korupsi.

Sebelumnya, pada Desember 2024, Kementerian Desa telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kejaksaan Agung untuk memperketat pengawasan dana desa. Namun, efektivitas kerja sama ini masih dipertanyakan jika keterbukaan informasi publik sesuai Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 belum sepenuhnya diterapkan.

Masyarakat diimbau untuk aktif mengawasi dana desa dan melaporkan setiap indikasi penyimpangan atau pemerasan. Tanpa pengawasan publik yang ketat, dana desa berisiko terus disalahgunakan dan tidak sepenuhnya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

(Publisher: sin)

Editor: Biro

Tinggalkan Balasan